Jika pendidikan di tekankan pada kualitas Hapalan, bahaya yang
mengancam adalah “education without character” (Pendidikan tanpa karakter).
Menghafal itu penting, tetapi jika ini menjadi tolok ukur akan berinbas pada
pembunuhan perkembangan karakter anak didik.
Istilah karakter dipakai dalam pendidikan pertama kali
dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster. Terminologi ini mengacu pada
sebuah pendekatan idealis-spritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan
teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden
yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi
sebuah perubahan sosial.
Tetapi jauh mendahulu, alquran sebagai kitab suci umat Islam dan
berperan sebagai landasan pendidikan umat Islam, dengan sangat gamblang lebih
mengarah pada pendidikan karakter. Hapalan di terapkan alquran secara tidak
langsung. Terlihat pada susunan ayat-ayat alquran yang di buat berulang dan
acak, hingga pembaca tanpa berupaya menghafalpun mrk akan menemukan kalimat
pengulangan. Justeru alquran lebih menekankan kepada Isyarat untuk
mengoptimalkan akal, pengamatan, pengalaman kontekstual dan nilai-nilai
afektif. Hapalan lebih dijadikan sebagai efek domino dari proses pendidikan,
bukan alat apalagi metode membentuk karakter.
Anak didik yang menghabiskan waktu belajarnya dengan menghafal
teksbook, akan mengalami hambatan pada daya analisa, pemahaman kecerdasan
sosial, lemah dalam menghidupkan keterampilannya memotivasi diri.
Dan bisa dibayangkan jika metode penekanan pada hafalan ini
diterapkan pada proses penanaman nilai-nilai alquran yang di harapkan akan
membentuk karakter anak didik menjadi pemilik pribadi qurani, mampu
menghidupkan alquran dalam jiwanya sehingga ia menjadi self kontrol dalam
dirinya pada saat berhadpan dengan problem pribadi dan lingkungannya. Padahal
alquran bukan teks yang kaku seperti kitab UUD45 :) Dalam setiap ayat alquran
mengandung banyak kalimat aktif yang merangsang pembacanya untuk merenung dan
menganalisa, bahkan mencoba melibatkan emosi. Jika pendidikan alquran di
tekankan pada hafalan kemudian di lanjut pada proses pendidikan secara umum
yang juga tekstual, apa yang bisa diharapkan dari generasi muda muslim?
Jadi bisa dimaklumi, jika komunikasi sosial umat Islam cenderung
statis terutama yang berhubungan dengan keterampilan menganalisa maslah-masalah
kontekstual. Karena secara umum umat Islam masih terbelenggu dengan budaya
belajar yang tekstual oriented. Umat Islam yang diharapkan sebagai khalifah di
muka bumi, akan tetap jadi manusia kelas dua dalam segala
bidang.