Translate

Senin, 03 Oktober 2016

Bahayanya penekanan kualitas hapalan pada pembentukan karakter


Jika pendidikan di tekankan pada kualitas Hapalan, bahaya yang mengancam adalah “education without character” (Pendidikan tanpa karakter). Menghafal itu penting, tetapi jika ini menjadi tolok ukur akan berinbas pada pembunuhan perkembangan karakter anak didik.

Istilah karakter dipakai dalam pendidikan pertama kali dicetuskan oleh pedagog Jerman F.W.Foerster. Terminologi ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motor penggerak sejarah, baik bagi individu maupun bagi sebuah perubahan sosial.

Tetapi jauh mendahulu, alquran sebagai kitab suci umat Islam dan berperan sebagai landasan pendidikan umat Islam, dengan sangat gamblang lebih mengarah pada pendidikan karakter. Hapalan di terapkan alquran secara tidak langsung. Terlihat pada susunan ayat-ayat alquran yang di buat berulang dan acak, hingga pembaca tanpa berupaya menghafalpun mrk akan menemukan kalimat pengulangan. Justeru alquran lebih menekankan kepada Isyarat untuk mengoptimalkan akal, pengamatan, pengalaman kontekstual dan nilai-nilai afektif. Hapalan lebih dijadikan sebagai efek domino dari proses pendidikan, bukan alat apalagi metode membentuk karakter.

Anak didik yang menghabiskan waktu belajarnya dengan menghafal teksbook, akan mengalami hambatan pada daya analisa, pemahaman kecerdasan sosial, lemah dalam menghidupkan keterampilannya memotivasi diri.

Dan bisa dibayangkan jika metode penekanan pada hafalan ini diterapkan pada proses penanaman nilai-nilai alquran yang di harapkan akan membentuk karakter anak didik menjadi pemilik pribadi qurani, mampu menghidupkan alquran dalam jiwanya sehingga ia menjadi self kontrol dalam dirinya pada saat berhadpan dengan problem pribadi dan lingkungannya. Padahal alquran bukan teks yang kaku seperti kitab UUD45 :) Dalam setiap ayat alquran mengandung banyak kalimat aktif yang merangsang pembacanya untuk merenung dan menganalisa, bahkan mencoba melibatkan emosi. Jika pendidikan alquran di tekankan pada hafalan kemudian di lanjut pada proses pendidikan secara umum yang juga tekstual, apa yang bisa diharapkan dari generasi muda muslim?

Jadi bisa dimaklumi, jika komunikasi sosial umat Islam cenderung statis terutama yang berhubungan dengan keterampilan menganalisa maslah-masalah kontekstual. Karena secara umum umat Islam masih terbelenggu dengan budaya belajar yang tekstual oriented. Umat Islam yang diharapkan sebagai khalifah di muka bumi, akan tetap jadi manusia kelas dua dalam segala bidang.